Rabu, 26 Oktober 2016

Candi Cangkuang Garut serta Sejarahnya

Candi Cangkuang Garut serta Sejarahnya
Candi Cangkuang yaitu satu candi Hindu yang ada di Kampung Pulo, lokasi Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi berikut juga yang pertama kalinya diketemukan di Tatar Sunda dan adalah hanya satu candi Hindu di Tatar Sunda. Candi ini terdapat bersebelahan dengan makam Embah Dalam Arief Muhammad, satu makam kuno pemuka agama Islam yang diakui jadi leluhur masyarakat Desa Cangkuang. 

Tempat 

Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang diantaranya Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi serta Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang di ambil dari nama desa tempat candi ini ada. Kata 'Cangkuang' sendiri yaitu nama tanaman semacam pandan (pandanus furcatus), yang terdapat banyak di sekitaran makam, Embah Dalam Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang bisa digunakan untuk buat tudung, tikar atau pembungkus. Cagar budaya Cangkuang terdapat di satu daratan di dalam danau kecil (dalam bhs Sunda dimaksud situ), hingga untuk menjangkau tempat itu lewat jalur paling utama, pengunjung mesti menyeberang dengan memakai rakit. Aslinya Kampung Pulo dikelilingi semuanya oleh danau, walau demikian saat ini cuma sisi utara yang masih tetap berbentuk danau, sisi selatannya sudah beralih jadi tempat persawahan. Terkecuali candi, di pulau itu juga ada pemukiman kebiasaan Kampung Pulo, yang jadi sisi dari lokasi cagar budaya. 

Candi Cangkuang ada di satu pulau kecil yang memiliki bentuk memanjang dari barat ke timur dengan luas 16, 5 ha. Pulau kecil ini ada di dalam danau Cangkuang pada koordinat 106°54'36, 79 " Bujur Timur serta 7°06'09 " Lintang Selatan. Terkecuali pulau yang mempunyai candi, di danau ini ada juga dua pulau yang lain dengan ukuran yang lebih kecil. 

Tempat danau Cangkuang ini topografinya ada pada satu lembah yang subur kurang lebih 600-an m l. b. l. yang dikelilingi pegunungan : Gunung Haruman (1. 218 m l. b. l.) di samping timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m l. b. l.) di timur selatan, Pasir Gadung (1. 841 m l. b. l.) di samping selatan, Gunung Guntur (2. 849 m l. b. l.) di samping barat-selatan, Gunung Malang (1. 329 m l. b. l.) di samping barat, Gunung Mandalawangi di samping barat-utara, dan Gunung Kaledong (1. 249 m l. b. l.) di samping utara. 

Sejarah 

Candi ini pertama kalinya diketemukan pada th. 1966 oleh tim peneliti Harsoyo serta Uka Tjandrasasmita berdasar pada laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan th. 1893 tentang ada satu arca yang rusak dan makam kuno di bukit Kampung Pulo, Leles. Makam serta arca Syiwa yang disebut memanglah diketahui. Pada awal riset tampak ada batu yang disebut reruntuhan satu bangunan candi. Makam kuno yang disebut yaitu makam Arief Muhammad yang dipandang masyarakat setempat jadi leluhur mereka. Terkecuali temukan reruntuhan candi, ada juga serpihan pisau dan batu-batu besar yang diprediksikan adalah peninggalan jaman megalitikum. Riset setelah itu (th. 1967 serta 1968) berhasil menggali bangunan makam. 

Meskipun nyaris dapat di pastikan kalau candi ini adalah peninggalan agama Hindu (kurang lebih era ke-8 M, satu jaman dengan candi-candi di website Batujaya serta Cibuaya?), yang mengherankan yaitu ada pemakaman Islam di sebelahnya. 

Pada awal riset tampak ada batu yang disebut reruntuhan bangunan candi serta di sebelahnya ada satu makam kuno tersebut satu arca Syiwa yang terdapat di dalam reruntuhan bangunan. Dengan diketemukannya batu-batu andesit berupa balok, tim peneliti yang di pimpin Tjandrasamita terasa percaya kalau di sekitaran tempat itu awal mulanya ada satu candi. Masyarakat setempat sering memakai balok-balok itu untuk batu nisan. 

Berdasar pada kepercayaan itu, peneliti lakukan penggalian di tempat itu. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti temukan fondasi candi berkuran 4, 5 x 4, 5 mtr. serta batu-batu candi yang lain yang berantakan. Dengan penemuan itu Tim Histori serta Instansi Kepurbakalaan selekasnya melakukan riset didaerah itu. Sampai th. 1968 riset masih tetap selalu berjalan. Sistem pemugaran Candi diawali pada th. 1974-1975 serta proses rekonstruksi dikerjakan pada th. 1976 yang mencakup kerangka tubuh, atap serta patung Syiwa dan diperlengkapi dengan satu joglo museum dengan maksud untuk dipakai menaruh serta menginventarisir benda-benda bersejarah sisa peninggalan kebudayaan dari semua Kabupaten Garut. Dalam proses pemugaran pada th. 1974 sudah diketemukan kembali batu candi yang disebut bebrapa sisi dari kaki candi. Masalah paling utama rekonstruksi candi yaitu batuan candi yang diketemukan cuma sekitaran 40% dari aslinya, hingga batu asli yang dipakai merekonstruksi bangunan candi itu cuma sekitaran 40%. Selebihnya di buat dari adukan semen, batu koral, pasir serta besi. 

Candi Cangkuang adalah candi pertama dipugar, dan untuk isi kekosongan histori pada Purnawarman serta Pajajaran. Beberapa pakar mengira kalau Candi Cangkuang dibangun pada era ke-8, didasarkan pada tingkat kelapukan batuannya, dan kesederhanaan bentuk (tidak ada relief). 

Bangunan Candi 

Bangunan Candi Cangkuang yang saat ini bisa kita saksikan adalah hasil pemugaran yang diresmikan pada th. 1978. Candi ini berdiri pada suatu tempat persegi empat yang memiliki ukuran 4, 7 x 4, 7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyangga pelipit padma, pelipit kumuda, serta pelipit pasagi ukurannya 4, 5 x 4, 5 m dengan tinggi 1, 37 m. Di bagian timur ada penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1, 5 m serta lébar 1, 26 m. 

Badan bangunan candi memiliki bentuk persegi empat 4, 22 x 4, 22 m dengan tinggi 2, 49 m. Di bagian utara ada pintu masuk yang memiliki ukuran 1, 56 m (tinggi) x 0, 6 m (lebar). 

Puncak candi ada dua tingkat : persegi empat memiliki ukuran 3, 8 x 3, 8 m dengan tinggi 1, 56 m serta 2, 74 x 2, 74 m yang tingginya 1, 1 m. Di dalamnya ada ruang memiliki ukuran 2, 18 x 2, 24 m yang tingginya 2, 55 m. Di dasarnya ada cekungan memiliki ukuran 0, 4 x 0, 4 m yang dalamnya 7 m. 

Diantara sisa-sisa bangunan candi, diketemukan juga arca (th. 1800-an) dengan tempat tengah bersila diatas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke samping dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Dimuka kaki kiri ada kepala sapi (nandi) yang telinganya menghadap ke depan. Dengan terdapatnya kepala nandi ini, beberapa pakar berasumsi kalau ini yaitu arca Siwa. Ke-2 tangannya menengadah diatas paha. Pada badannya ada penghias perut, penghias dada serta penghias telinga. 

Kondisi arca ini telah rusak, berwajah datar, sisi tangan sampai ke-2 pergelangannya sudah hilang. Lebar muka 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm serta 19 cm), tinggi 41 cm. 

Candi Cangkuang seperti tampak saat ini, sebenarnya yaitu hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanya 40%-an. Oleh karenanya, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sesungguhnya belumlah di ketahui. 

Candi ini berjarak sekitaran 3 m di samping selatan makam Arif Muhammad/Maulana Ifdil Hanafi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @garuthomestay